Catatan Pemikiran dan Refleksi

Thursday, September 02, 2010

Posted by dg situru' | Thursday, September 02, 2010 | No comments
Pengantar
Dalam sejarah perjalanan bangsa pasca kemerdekaan Indonesia, mahasiswa merupakan salah satu kekuatan pelopor di setiap perubahan. Tumbangnya Orde Lama tahun 1966, Peristiwa Lima Belas Januari (MALARI) tahun 1974, dan terakhir pada runtuhnya Orde baru tahun 1998 adalah tonggak sejarah gerakan mahasiswa di Indonesia. Sepanjang itu pula mahasiswa telah berhasil mengambil peran yang signifikan dengan terus menggelorakan energi “perlawanan” dan bersikap kritis membela kebenaran dan keadilan.

Keberadaan gerakan mahasiswa dalam konstelasi sosial politik di negeri ini tak bisa dipandang sebelah mata. Diakui atau tidak, keberadaan mereka menjadi salah satu kekuatan ekstraparlemen yang selalu dipertimbangkan oleh berbagai kelompok kepentingan (interest group) terutama pengambil kebijakan, yakni negara.

Gerakan mahasiswa baik sebelum ataupun pasca tahun 1998 bagi saya tidak bisa dipisahkan dari ruang dan waktu dimana entitas mahasiswa itu hadir. Karena itu gerakan mahasiswa selalu mengalami pasang surut dalam perkembangannya. Gerakan mahasiswa Indonesia lahir bukanlah dari ruang hampa udara. Gerakan mahasiswa Indonesia lahir sebagai respon atas dinamika sosial, politik dan ekonomi yang terjadi dimana mereka hadir.

Memahami gerakan mahasiswa tidak bisa dipisahkan dengan realitas sosial. Realitas sosial inilah hemat saya yang menjadi daya dorongan untuk melakukan perubahan. Realitas sosial memiliki dua sisi, dia bisa baik dan bisa timpang alias tidak adil. Kenapa harus dilakukan perubahan? Pertanyaan ini sangat relevan dengan semangat dan gelora kemahasiswaan sebagai anak muda. Sebab medan wacana gerakan kemahasiswaan haruslah bertaut dengan wacana perubahan sosial dan dalam kontek realitas sosial inilah gerakan mahasiswa akan diposisikan.

Paradigma Perubahan Sosial
Mengkaji tentang Teori dan Perubahan sosial maka kemudian yang terlebih dahulu harus dibicarakan adalah masalah paradigma. Paradigma adalah cara pandang kita untuk melihat bagaimana masalah sosial, bisa juga sebagai kaca mata atau alat pandang untuk menganalisis masalah sosial. Apakah masalah/realitas sosial itu timpang atau tidak! Kalau jawabannya tidak, kenapa dan kalau yah apa yang mesti dilakukan?

Thomas khun dalam “The structure of Scientifik Revolution” menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan paradigma adalah sebagai satu kerangka dasar keyakinan atau pijakan suatu teori. Sedangkan Patton (1975) Paradigma adalah world view a general perspective a way of breaking dawn complexity of the real world.
Jadi, paradigma adalah konstelasi teori, pernyataan, pendekatan, serta prosedur yang dipergunakan oleh suatu nilai dalam tema pemikiran.

Seorang tokoh mazhab franfurt Jurgen Habermas membagi tiga paradigma dalam melihat masalah sosial, Pertama,Instrumental knowledge. Kedua, dalam paradigma ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukan dan mendominasi obyeknya, yang dimaksud oleh Habermas sesunggahnya adalah paradigma positivisme. Ketiga, adanya kepercayaan universalisme dan generalisasi melalui determinisme.

Paulo Freire dalam Pedegogy of the Oppresed yang diterbitkan di Inggris (1970), tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebut sebagai conscientizacoo atau proses penyadaran terhadap sistem yang menindas yakni suatu sistem dan struktur dehumanisasi yang membunuh nilai kemanusiaan manusia. Proses dehumanisasi terjadi melalui kekerasan fisik dan non fisik penjinakan yang halus, struktur dan sistematis.

Freire membagi idologi perubahan sosial dengan mengacu pada dunia pendidikan yang memanusiakan manusia. Pertama. Kesadaran magis, kesadaran yang mengembalikan semua persolan kemanusiaan kepada realitas di luar diri manusia (natural dan supra natuaral). Kedua, Kesadaran naïf. Kesadaran yang mengembalikan masalah kemanusiaan kepada manusia dengan tanpa mengaitkan antara hal yang satu dengan yang lainya, misalnya kemiskinan terjadi karena masyarakat malas, tidak mempunyai jiwa kewirausahaan. Ketiga, Kesadaran kritis yang disebut juga kesadaran transformativ. Kesadaran yang sudah mampu melihat masalah kemanusiaan sebagai ketidak beresan antara sistem-sistem dalam masyarakat, misalnya kemiskinan terjadi bukan karena takdir tuhan atau karena kemalasan manusia melainkan karena system yang menindas.

Paradigma Fungsionalis
Merupakan sosiologi kemapanan, keteraturan, stabilitas social, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan. Paradigama dimulai pada dasawarsa abad 19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, Pareto.

Paradigma Interpretatif
Pendekatan teori ini cenderung nominalis, anti positivis, dan idiografis, karena mereka beranggapan bahwa kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang, karenanya mereka berusaha menyelami jauh kedalam kesadaran dan subyektifitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada dibalik kehidupan sosial.

Paradigma ini dipengaruhi oleh pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Immanuel Kant, penerusnya adalah penganut Filsafat fenimenologi yaitu Dilttey, Max Weber, Husser,dan Schucz.

Paradigma Humanis Radikal
Paradigma ini cenderung menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada, pandangan dasarnya adalah bahwa kesadaran manusia telah dibelenggu oleh suprastruktur-idiologis yang ada diluar diri manusia yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadaran yang murni (alienasi) atau membantu kesadaran palsu. Paradigma mengecam habis-habisan kemapanan kestabilan.

Paradigma Strukturalis Radikal
Fokus analisis paradigma ini adalah menekankan pada konflik struktur.

Teori-Teori Perubahan Sosial
Teori Perubahan Sosial Kapitalisme: Teori modernisasi dan Pembangunan
Landasan teori perubahan sosial kapitalisme yang, Pertama, teori ekonomi klasik, dimana teori ini berpijak pada ajaran Adam Smith yang dituangkan dalam karyanya Wealth of Nation (1776), dan pemikir ekonomi lainya seperti David Ricardo dan James Mill ada juga para analis memasukkan Jeremy Bentham dan Thomas. Pandangan-pandangan kaum teori ekonomi klasik, Pertama, mereka percaya kepada Laissez- Feire yakni kepercayaan akan kebebasan dalam bidang ekonomi yang memberi isyarat perlunya membatasi atau memberi peranan sangat minimum kepada pemerintah dalam bidang ekonomi. Kedua, Ekonomi pasar diletakkan di atas sistem persaingan bebas dan sempurna. Ketiga, mereka percaya kepada kondisi Full employment—suatu kepercayaan bahwa ekonomi akan berjalan secara lancar dan selalu mengalami penyesuaian diri jika tanpa intervensi pemerintah.

Keempat, mereka beranggapan bahwa memenuhi kepentingan individu akan berarti juga memenuhi kepentingan masyarakat dengan kata lain mereka percaya kepada harmony of interest. Kelima, mereka menitikberatkan pada kegiatan ekonomi khususnya pada pembangunan industri, mereka juga percaya bahwa hukum ekonomi berlaku secara universal.

Teori Evolusi
Teori ini berkembang setelah revolusi industri dan revolusi perancis pada awal abad 19. Teori ini berdasarkan pada enam asumsi tentang perubahan, yakni perubahan dilihat sebagai natural, deraksional, imanent, kontinyu, suatu keharusan dan berjalan melalui sebab yang sama.

Teori tersebut sangat dipengaruhi oleh pemikiran Hegel, akan tetapi Aguste Comte lah yang mengembangkannya menjadi ilmu sosial positivistic. Comte kemudian menolak dan tidak meletakkan Tuhan sebagai pusat teori evolusinya. Comte menggambarkan bahwa perubahan akan melalui fase-fase berikut, Pertama, theological dimana suatu masyarakat di kuasai oleh pendeta yang dipimpin oleh militer, Kedua, methaphysical, yang didasarkan pada pemikiran filosof manusia. Ketiga, scientific atau positive yakni dengan memahami hukum alam dan eksperimentasi ilmiah, karenanya masyarakat akademik dikatakan masyarakat ilmiah yang pada dasarnya menganut ligoka dan kepercayaan positivisme.

Masyarakat berkembang dari masyarakat sederhana (primitive) menuju masyarakat kompleks (modern), memerlukan jangka panjang melalui fase-fase di atas.

Teori Fungsionalis
Teori ini muncul pada tahun 1930-an sebagai kritik terhadap teori evolusi, teori ini dikenal juga dengan teori struktural fungsionalisme yang dikembangkan oleh Robert Marton dan Talcott Persons. Teori ini sangat sederhana melihat masalah sosial, bahwa masyarakat di pandang sebagai suatu sistem yang terdiri atas bagian-bagian yang saling menguntungkan dan berkaitan (agama, pendidikan, struktur politik, kelurga dsb). Bagian-bagian tersebut secara terus-menerus mencari equilibrium (keseimbangan) dan harmoni antara mereka, interelasi tersebut dianggap bisa terjadi karena adanya konsensus, dan suatu pola yang non normative dianggap akan melahirkan gejolak. Jika hal tersebut terjadi maka kemudian setiap bagian akan cepat menyesuaikan diri untuk mencpai equilibrium lagi. Karena masyarakat tidak statis akan tetapi dinamis.

Teori modernisasi
Teori ini lahir di Amerika Serikat tahun 1950-an dan respons kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi dianggap sebagai jalan optimis. Modernisasi sebagai gerakan sosial bersifat. Pertama, Revolisioner (perubahan dengan cepat dari tradisi ke modern). Kedua, Berwatak complex (melalui banyak cara dan disiplin ilmu). Ketiga, sistematik, menjadi gerakan global yang akan mempengaruhi semua manusia melalui proses bertahap untuk menuju suatu hegemoni (convergency) dan bersifat progresif.

Gerakan Mahasiswa, Menuju New Social Movement
Sebagian besar teori-teori diatas menjelaskan bahwa perubahan terjadi bila konflik sosial dipandang sebagai dimensi yang tak terpisahkan dari perubahan sosial. Pada titik inilah menariknya untuk membincang gerakan mahasiswa sebagai satu entitas yang otonom yang memiliki kepoloporan terutama dalam konteks keperduliannya dalam meresponi masalah-masalah sosial politik yang terjadi dan berkembang di tengah masyarakat. Menurut Arbi Sanit dalam Fadli, Fahruz Zaman (1999) ada lima sebab yang menjadikan mahasiswa peka dengan permasalahan kemasyarakatan sehingga mendorong mereka untuk melakukan perubahan. Pertama, sebagai kelompok masyarakat yang memperoleh pendidikan terbaik, mahasiswa mempunyai pandangan luas untuk dapat bergerak di antara semua lapisan masyarakat. Kedua, sebagai kelompok masyarakat yang paling lama mengalami pendidikan, mahasiswa telah mengalami proses sosialisasi politik terpanjang di antara angkatan muda. Ketiga, kehidupan kampus membentuk gaya hidup unik melalui akulturasi sosial budaya yang tinggi diantara mereka. Keempat, mahasiswa sebagai golongan yang akan memasuki lapisan atas susunan kekuasaan, struktur ekonomi, dan akan memiliki kelebihan tertentu dalam masyarakat, dengan kata lain adalah kelompok elit di kalangan kaum muda. Kelima, seringnya mahasiswa terlibat dalam pemikiran, perbincangan dan penelitian berbagai masalah masyarakat, memungkinkan mereka tampil dalam forum yang kemudian mengangkatnya ke jenjang karier.

Dalam diskursus tentang gerakan mahasiswa, terutama saat ini memang mengalami fragmentasi kedalam beberapa varian gerakan yang memiliki kekhasannya masing-masing. Hal ini disebabkan oleh anutan nilai dan paradigma yang dikembangkan oleh sebuah gerakan. Tetapi ada bahwa walaupun memiliki keberagaman paradigma tetapi gerakan-gerakan kemahasiswaan memiliki suatu visi yang sama yaitu bagaimana merubah atau melakukan perubahan sosial.

Misalnya, antara Gerakan Mahasiswa Islam (HMI, IMM, PMII, dan KAMMI) mereka memiliki nilai dasar perjuangan yang berbeda. Apa lagi gerakan mahasiswa yang bercorak nasionalis atau bahkan gerakan mahasiswa yang mengidentifikasi diri sebagai gerakan pro demokrasi. Ini misalnya dapat di wakilkan kepada LMND, Famred, dan Forkot. Begitu juga dengan gerakan intra kampus semacam BEM, dan lembaga-lembaga internal lainnya. Diantara sekian banyak gerakan mahasiswa itu mereka memiliki perbedaan yang sangat tajam baik akar arkeologi dan konteks kelahiran serta cita ideal yang mereka ingin perjuangkan.

Pada konteks perubahan sosial ini pula gerakan mahasiswa akan mengalami ujian eksistensial, apakah dia mampu eksis untuk menggapai cita idelnya atau malah pergi dan meninggalkan realitas sosial dengan “melacurkan diri” kedalam kubangan pragmatisme yang menggiurkan. Dalam pengamatan subyektifitas penulis bahwa konteks sejarah, momentum dan tokoh menjadi sesuatu yang niscaya dalam memassifkan gerakan mahasiswa. Sejarah dan momentum sosial inilah yang banyak membedakan antara gerakan mahasiswa dari periode-keperiode. Sedangkan tokoh adalah menyangkut manusia yang akan menjadi panutan dan katalisator sebuah gerakan mahasiswa. Disini juga gerakan mahasiswa mengalami kegagalan kaderisasi. Hampir-hampir kita tidak lagi menjumpai tokoh-tokoh mahasiswa yang mampu menempatkan diri sebagai poros dan payung bagi gerakan yang lebih luas. Yang terjadi adalah egoisme fakultas – kalau ia intern – sedangkan kalau dia eksra adalah egoisme organisasi atau lembaga masing-masing. Dalam menuju kearah perubahan sosial ini kurang tepat.

Karena itu bagi saya gerakan mahasiswa harus mencari formulasi baru dalam dinamika gerakannya. Kalau Anas Urbaningrum (1999) mengajukan pandangan bahwa gerakan mahasiswa harus berubah paradigmanya dari Student Movement ke Social Movement. Akan tetapi Bung Anas tidak menjelaskan secara detail bagaimana format gerakan sosial yang dimaksud. Karena itu dalam kesempatan ini saya memberikan usulan bahwa format gerakan mahasiswa harus melakukan transformasi kepada New Social Movement. Apa itu gerakan sosial baru?

New Social Movement adalah sebuah gerakan dengan mengusung tema yang holistik. Tidak politik atau HAM melulu. Beberapa ciri-ciri New Social Movement yang dapat diidentifikasi : (1) Asumsi Ideologis. Asumsi ideologis yang ingin dibangun adalah terciptanya sebuah masyarakat sipil yang berkeadilan tanpa kontrol negara yang hegemonik. (2) Shifting Paradigma. Yaitu pergeseran paradigma dari social conflik ‘Marxian’ yang deterministik ke trans mondial yang lintas isu / case. (3) Local Empowering. Dalam New Social Movement ada lokal wisdom yang diakui keberadaannya. Atau memberikan eksistensi bagi hidupnya kearifan-kearifan lokal dalam masyarakat. Sedangkan ciri-ciri aktor New Social Movement adalah ; (1) Berasal dari basis sosial yang heterogen, melintasi kategori gender, agama, pekerjaan, pendidikan maupun kelas. (2) Tidak menganut determinism sosial, kaya – miskin, kelas buruh, petani atau pekerja industri (buruh). (3) Aksinya bukan untuk kepentingan kelas tetapi untuk Humanity.

Catatan Akhir
Perjuangan melakukan perubahan sosial sebagai tujuan bersama tidak bisa dilakukan secara person to person. Perubahan sosial harus dilakukan secara massif dan bersama-sama dengan elemen gerakan yang lain.

Membuka jalan perubahan sosial pada dasarnya adalah upaya untuk meningkatkan kesadaran korban ketidakadilan dan sekaligus membangun front bagi suatu usaha bersama. Jika perubahan sosial dipahami sebagai proses berubah dari suatu keadaan kepada keadaan lain, maka bagaimana mencapai perubahan tersebut, apa yang harus dilakukan? Ini sebenarnya substansi yang saya ingin bahasakan melalui forum ini. Karena itu untuk melakukan perubahan dalam konteks New Social Movement bagi saya adalah : Pertama, penyadaran (consaintizn). Membangun kesadaran basis merupakan sesuatu yang niscaya dalam aksi perubahan sosial. Aktivitas ini dapat dilakukan melalui pelatihan-pelatihan tenaga inti / kader yang akan menjadi voolunter dalam aksi sosial untuk melakukan perubahan.

Kedua, pendampingan. Pendampingan yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah kemampuan gerakan mahasiswa melakukan proses mentoring dan terhadap basis gerakan yang menjadi subyek garapan sebuah organisasi kemahasiswaan. Pendampingan disini bisa juga dimaksudkan sebagai usaha untuk mengorganisasikan basis gerakan. Suau pengorganisasian merupakan usaha untuk membangun kekuatan basis gerakan sehingga mereka mampu secara optimal memamfaatkan potensinya, memahami secara kritis lingkungannya dan mampu mengambil tindkan yang mandiri. Ketiga, pembelaan. Pembelaan dalam pemaknaan disini sebagai upaya untuk melakukan kerja-kerja advokasi dan pembasisan terhadap mereka yang mengalami perlakuan tidak adil.

Dipenghujung makalah ini saya mengutip pernyataan Muhammad Iqbal dalam Kuntowijoyo (2004) ketika memberikan komentarnya mengenai mi’raj Nabi Muhammad bahwa katanya “seandainya Nabi adalah seorang mistikus atau sufi, tentu Nabi tidak akan kembali lagi kebumi, karena telah merasa tentram bertemu dengan Tuhan dan berada disisi-Nya”. Tetapi lanjut Iqbal “Nabi kembali kebumi untuk menggerakkan perubahan sosial, untuk mengubah jalannya sejarah”. Apa yang saya ingin katakan bahwa gerakan mahasiswa tidak sekedar memiliki nafsu terhadap perubahan sosial dan berbuat ‘ma’sum’ dengannya, akan tetapi bagaimana gerakan mahasiswa tampil menjadi pengawal perubahan sosial, mahasiswa harus menjadi aktivisme sejarah Wallahu A’lam Bisshawab.

Makalah ini merupakan catatan pengantar diskusi MISEKTA UNHAS sabtu, tanggal 26 November 2005

BAHAN BACAAN

Armin Mustamin Toputiri, dkk. 2005. Mempersiapkan Generasi Baru, Investasi Jangka Panjang Pembangunan Sulawesi Selatan. ToACCAe Publishing. Makassar.

Fadli, Fahruz Zaman (Ed). 1999. Mahasiswa Menggugat, Potret Gerakan Mahasiswa Indonesia 1998. Pustaka Hidayah. Bandung.

Masmulyadi (Ed). 2001. Analisis Sosial, Membongkar Mitos Gerakan Transformatif. Ikatan Remaja Muhammadiyah. Makassar.

Mahardika, Timur. 2000. Gerakan Massa, Mengupayakan Demokrasi dan Keadilan Secara Damai. Lepara Pustaka. Jogyakarta.

Prasetyo, Eko. 2003. Islam Kiri, Jalan Menuju Revolusi Sosial. Insist Press. Jogyakarta.

____________. 2005. Assalamu’alaikum; Islam Agama Perlawanan. Resist Book. Jogyakarta.

Sztompka, Piotr. 2004. Sosiologi Perubahan Sosial. Prenada. Jakarta.


Sultonul Huda. 2002. Modul Pelatihan Cummunity Organizer. Lakpesdam NU. Jakarta.

Yudhie Haryono, M. 2005. Melawan dengan Teks. Resist Book. Jogyakarta.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter