Catatan Pemikiran dan Refleksi

Thursday, September 23, 2010

Posted by dg situru' | Thursday, September 23, 2010 | No comments
Tanggal 7 September 2010 saya berkesempatan menonton film "Sang Pencerah", besutan sutradara muda, Hanung Bramantyo di studio XXI, Demangan, Yogyakarta. Hadir Sutradara, Produser, Aktor, dan sejumlah budayawan seperti Butet dan teman-teman senimannya. Tampak hadir juga warga dan pimpinan Persyarikatan.

Hanung dengan kerja-kerja budaya yang dilakukannya telah menyihir publik. Ia berceloteh entah berapa SKS (sistem kredit semester) tentang Ke-Muhammadiyah-an, tanpa ia harus berdiri berjam-jam untuk 4 sampai 6 semester mengajar Al-Islam Ke-Muhammadiyah-an di perguruan Muhammadiyah. Ia hanya butuh waktu 109 menit. Lantas semua penonton terperanjat. Memberi aplous. Tidak hanya warga, simpatisan dan elit Muhammadiyah. Tapi non muslim pun berucap kagum atas kiprah dan nilai-nilai yang ditauladankan oleh Kiai Ahmad Dahlan dalam celoteh Hanung.

Hanung berhasil menampilkan nilai universal tentang Islam yang diajarkan oleh Kiai Dahlan. Nilai itu antara lain; toleran, terbuka dengan perbedaan, memberi ruang bagi nalar untuk beragama secara baik dan kaffah.

Lalu apa hikmah yang bisa diambil dari proses kreatif yang dilakukan oleh Hanung?. Pertama, sukses Hanung mengangkat tokoh Ahmad Dahlan menjadi sebuah biopic film menjadi catatan bagi persyarikatan betapa pentingnya kerja-kerja budaya. Lewat tangan kreatif (Hanum) anak Muhammadiyah itulah Sang Pencerah hadir bertutur tentang persyarikatan dan kiprah tokohnya.

Kedua, Muhammadiyah secara kelembagaan harus mendukung baik kata dan tindakan terhadap kerja-kerja kreatif (budaya) bagi banyak anak-anak muda Muhammadiyah. Sebagai seorang pernah berkecimpun dalam dinamika Ikatan Pelajar Muhammadiyah dan mengunjungi berbagai tempat di tanah air. Saya bisa melihat dari dekat bagaimana tangan-tangan kreatif anak muda itu. Mereka tidak kalah kok dengan yang lain.

Ketiga, perlunya merambah kembali dakwah kultural yang secara resmi telah menjadi keputusan persyarikatan, walau pun hampir sebagian besar ustad-ustad Muhammadiyah agak risih kalau tidak dikatakan "keberatan" dengan dakwah kultural ini.

0 komentar:

Post a Comment

Bookmark Us

Delicious Digg Facebook Favorites More Stumbleupon Twitter